Senin, 28 April 2008

Fenny

Fenny

Kini aku sendiri. Di malam ini. Menatap langit penuh bintang, yang sesekali tersenyum padaku. Kini aku puas. Tiada lagi kebimbangan waktu itu. Dimana aku berada dalam dalam kekalutan yang menekanku, dan nyaris aku hampir tewas saat itu. Kisah itu bermula saat aku mengenalnya, eh… tunggu dulu, aku baru ingat, aku mengenalnya di stasiun itu tiga tahun yang lalu. Waktu itu ia nampak lelah, tetapi kelelahan itu tidak sampai menutupi wajahnya yang manis dan gerakannya yang gemulai itu selalu mengingatkanku padanya. Waktu itu aku juga mau pergi ke Jakarta. Lumrah dong aku cari pekerjaan disana, karena di sini tak ada lagi lapangan pekerjaan yang dapat kulamar. Paling-paling hanya jadi petani ataupun seorang pemuda yang pengangguran yang selalu bernyanyi menggenjreng gitar tidak karuan setiap saat. Aku masih bujang, saat aku berkaca di rumah pada waktu itu aku baru sadar ternyata wajahku ini juga lumayan tampan. Tetapi ini masalah lain. Aku harus cari pekerjaan untuk menyambung hidupku, simbok di kampung juga sudah tidak bisa lagi merawatku seperti dulu. Aku sudah dewasa. Aku harus menentukan hidupku. Waktu aku pamit meninggalkannya, sesaat aku melihat wajah simbok yang sedih karena kutinggalkan dan wajahnya yang menunjukkan bahwa ia sudah pasrah dan tidak bisa melarangku pergi ke Jakarta, tapi pikiranku sudah bulat. “m…mbok, aku mau pamit cari kerja di Jakarta,” aku teringat perkataanku waktu itu. Aku tahu simbok dengan berat hati mengiyakannya.

“Terserah kamu le, kamu sudah besar, jaga dirimu, jangan khawatirkan simbok, tapi kalau kamu sudah sukses cepat pulang ya le, simbok mau menimang cucu sebelum simbok mati,” kata simbok waktu itu. “Mbok jangan bilang seperti itu, simbok jangan bilang mau mati segala, kan aku jadi takut.”

“Gak apa-apa le, semua barang yang hidup nantinya juga akan mati, seperti si Bento yang kamu pelihara dulu,” kata simbok menenangkanku.

Wajahnya yang selalu tampak tenang itu segera melenyapkan kegundahanku. Malahan aku teringat si Bento, anjing kesayanganku yang selalu menemaniku setiap saat. Dulu bapakku memelihara seekor anjing betina. Setelah aku berumur lima tahun, bapak memberikanku seekor anak anjing jantan, mungkin anaknya anjing betina ayahku itu, lalu ia pergi begitu saja meniggalkanku dan simbok tanpa alasan. Akupun tidak heran, karena kudengar bapak dan simbok waktu itu bertengar, aku tidak tahu kenapa. Yang kutahu simbok menangis waktu itu. Setelah ayah pergi kunamai anjingku Bento, karena kulitnya yang coklat dan bertutul. Aku selalu bermain dengannya, merawatnya, aku selalu menggapnya sebagai temanku. Tetapi waktu aku berumur sepuluh tahun, waktu itu gerimis, si Bento yang sudah tua itu mati tertabrak sebuah truk yang melitas di jalan depan rumahku, betapa sedihnya aku waktu itu, tetapi simbok menenangkanku. Ia memelukku dengan hangat dan menciumku.

“Sudah le, gak usah nangis kan masih ada simbok yang menemanimu, si Bento pasti juga sudah pergi dengan tenang, kamu gak usah khawatir.”

Setelah itu aku jalani hidupku sampai sekarang tanpa Bento, aku bersekolah dengan beasiswa sampai SMA dan kini aku harus mencari pekerjaan. Lalu aku terdampar di sebuah bangku di stasiun.

Aku masih teringat, ketika aku sampai di stasiun, aku melihatnya, ia sangat cantik, namun ada kegelisahan di wajahnya. Kucoba untuk menyapanya.

“Hai, saya Fandi,” sapaku sambil mengulurkan tanganku mengajak kenalan.

“Fenny,” balasnya menggenggam tanganku, terasa hangat.

“ngomong-ngomong mau kemana mbak”

“mau ke Jakarta, tapi jangan panggil mbak dong, panggil aja Fe atau Ni”

“Oke mbak Fe, eh…Fe jadi sama dong tujuan kita, aku juga mau ke Jakarta cari kerja, kalau kamu mau ngapain di Jakarta?”

“Yah mau jalan-jalan sekalian juga kalau ada pekerjaan ya aku tandangi dech”

Lama-kelamaan aku jadi merasa dekat dengannya, sambil menunggu kereta jurusan Cengkareng yang katanya telat setengah jam itu, kucoba untuk berbincang bincang dengannya. Rupanya ia orangnya supel, dia bercerita soal keluarganya, mantan pacarnya, tantenya di Jakarta bahkan riwayat sekolahnya pun ia ceritakan padaku. Dengan antusias aku mendengarkannya, meskipun hal itu kurang penting bagiku, yang kutahu hanyalah ia seorang sarjana ekonomi lulusan universitas terkemuka di Surabaya, rumahnya aslinya di Malang tetapi kali ini ia akan pergi ke Jakarta ke rumah tantenya mengadu nasib sama sepertiku, tapi kan tahu sendiri aku hanya lulusan SMA, tak sebanding dengan dia, dan ternyata umur kami tidak jauh berbeda, hanya saja ia dua tahun lebih tua dariku, jadi maklum kalau tadi aku bilang mbak. Tak terasa kereta yang akan menuju Cengkareng sudah mendengus-ndengus, minta dikasih makan penumpang. Terpaksa aku mengakhiri pembicaraan dan mengajaknya masuk ke dalam kereta.

“nomer berapa Fan?” ia bertanya

Kulihat tiketku.

“oh… nomer 65”

“wah kebetulan nich, aku dapat nomer 66, jadi kita masih bisa ngobrol.”

Masih kupandangi wajah manisnya itu, tetapi kulihat ada kegelisahan dari matanya.

Aku duduk di sampingnya. Kami sempat meneruskan perbincangan kami waktu di bangku tentang rumah tantenya. Sesaat kudengar ia akan tinggal di rumah tantenya itu kurang lebih tiga bulan dan setelah dapat kerja, ia mau membeli sebuah apartement, kalu tidak minimal bisa menyewa sebuah kondominium.

Karena sudah lelah dan bingung mau bicara apalagi, sesaat kami terdiam. Aku membuang wajahu ke jendela memandangi sawah yang hijau sedangkan dia mengeluarkan sebuah buku dari tasnya yang berwarnya coklat muda, tas kulit. Oh iya, waktu itu ia memakai kaos ketat berwarna ungu, dengan celana jeans Levi’s, kelihatan sangat kontras sekali, serta parfumnya yang berbau Lavender seakan membuatku melayang. Sekilas aku melihat judul buku eh…sebenarnya roman yang ia baca “Salah Asuhan” .

“wah suka baca ya,” tanyaku ditengah kesibukannya membalik halaman buku tersebut.

“iya, membaca adalah hobiku sejak dulu, buku ini kutemukan di gudang temanku, lalu katanya aku boleh memilikinya ,”katanya sambil mengangkat buku itu, dan seperti biasa, senyumnya yang manis itu selalu diperlihatkannya ketika ia bicara padaku.

Waktu ia mengangkat buku tersebut yang kulihat adalah celana jeans Levi’s panjang dan ketat yang dipakainya, aku baru sadar bahwa ia cewek yang seksi, dan menarik. Namun dibalik semua itu masih kurasakan kegelisahannya. Rambutnya yang panjang sebahu, janggutnya yang runcing namun manis, matanya yang berkaca-kaca, senyumnya yang menggairahkan, antingnya yang berkilau-kilau di belakang rambutnya, di balik semuanya itu aku bisa merasakan kegelisahannya namun aku tidak berani menanyakannya, takut ia tersinggung. Tak terduga yang kurasakan hanyalah ngantuk berat, habis semalaman begadang nonton bola sama teman-teman sekalian pamitan sama mereka.

Tak terasa setelah beberapa jam tiba-tiba kereta berhenti.

“Fan, Fan bangun udah sampai nich!” ia menepuk bahuku.

“Hah, cepat sekali” sambil mengucek mataku yang masih agak berat.

“Elu tidur sich!”

“Kok logatmu, berubah, katanya kamu orang Surabaya, pakai elu segala”

Kan kita udah sampai di Jakarta, harus menyesuaikan diri dong he…he…”, aku tahu dia hanya ingin menarik perhatianku.

Kami lalu turun dari kereta itu.

“Dari sini kita kita udah berpisah lagi dong” keluhnya

“Gak apa-apa, pasti kalau Tuhan berkehendak kita pasti akan bertemu lagi”

Kulihat, dia mengambil handphone dari tasnya, lau mengangkatnya. Aku sedikit menguping. Ia akan segera di jemput di sini oleh supir tantenya. Lalu ia memandang aku dengan Hpnya masih ditangan kanannya, tangan tersebut terlihat sangat halus dan terawat.

“Fandy punya nomer henpon gak?” tanyanya padaku.

“Kamu tanya apa ngejek, aku kan gak punya HaPe”

“Wah sayang sekali, coba aku punya teman seperti kamu, yang bisa mendengarkanku bicara, soalnya teman-temanku bisanya cuma memanfaatkanku, gak peduli masalahku”

Terdengar suara klakson mobil.

“mbak Fenny ya?” teriak seseorang dari dalam mobil.

“Iya, sebentar saya akan segera datang” teriak Fenny

“Wah gimana ini Fan masak aku gak bisa ketemu lagi sama kamu”

“Mungkin kalau kita beruntung kita bisa ketemu lagi kapan-kapan,” kataku menahan sesal.

“Ya udah, kamu ambil ini aja, supaya kamu bisa inget sama aku” dia menyodorkan sebuah korek api dengan hiasan kepala naga diatasnya dan bunga mawar di tengahnya.

“Ini hanya ada satu lho di dunia, soalnya ini buatan kakekku sebelum meninggal”

Kuterima saja benda itu dengan harapan bisa bertemu dengannya kembali. Aku juga bingung mengapa ya ada wanita yang sebegitu baiknya, baru aja ketemu bisa langsung cocok dengannya. Aku merasa hangat bersama dengannya, namun kegelisahannya masih dapat kurasakan.

Dengan langkah berat ia memasuki mobil itu lalu menepuk punggung sopir itu. Mobil itu melesat begitu saja tanpa ia mengucapkan kata selamat tinggal. Aku hanya terdiam seribu bahasa memandangi bekas ban mobil yang ada di pertigaan itu.

Sore itu menjelang malam, aku melangkahkan kakiku ringan mencari tempat untuk aku tinggal. Menurut informasi yang kudapatkan dari seorang temanku yang pernah tinggal di Jakarta, aku bisa tinggal di sebuah rumah susun. Dia beri tahu aku saat begadang nonton bola bareng saat aku pamitan, dia mensergah aku.

Jakarta itu kota yang keras Fan!” katanya.

“Nggak, aku mau cari kerja Den, gimana nasibku nanti kalau aku tidak kerja!”

“Wah, kamu memang keras kepala, kan kamu bisa aja bertanam jagung atau apel!”

“Tapi aku gak bisa bertani, sekolah aja cuma sampai SMA itupun diberi beasiswa, aku cuman mau menggunakan ijasahku yang nilainya bagus itu, kan nanti bisa sekalian kuliah, kalau masih ada waktu.”

“Kamu memang ga bisa dibilangin, ya udah terserah kamu deh, aku gak mau tahu resikonya, asal kalau kamu beruntung, janan lupain aku. Aku hanya saran kalau kamu mau cari tempat tinggal, sewa tempat aja di sumah susun, semacam kos gitu, tapi lebih murah.” Katanya seingatku.

Lalu aku melagkahkan kakiku di sebuah stand gerobak bertuliskan “Tegal, kepriben”, aku tahu disana pasti ada makanan. Ibukku memberikan uang saku dari sisa menjual tanah simbah, sebenarnya tanah itu adalah warisan, karena kepepet, akhirnya simbok menjual tanah itu. Kurasa itulah yang dulu menyebabkan Bapak dan Simbok bertengkar.

Disana aku mencari informasi, dimana aku dapat mencari rumah susun. Aku sangat beruntung karena seseorang dalam warung tegal itu adalah pemilik dari sebuah rumah susun di kawasan Cengkareng. Aku memang senag tiggal di dekat stasiun, karena rasanya lebih aman, berjaga-jaga untuk pulang kerumah. Bayaran untuk tempat itu tidak terlalu mahal aku sangat beruntung.

Keberuntungan demi keberuntugan mewarnai hidupku sejak kejadian itu, dan aku selalu membawa korek dari Fenny itu kemana-mana, kadang kupakai korek itu untuk menyalakan obat nyamuk, namun tak akan kubiarkan korek itu dipinjam orang atau untuk menyulut rokok. Aku tidak pernah dan tidak akan pernah merokok, meskipun sering diejekin teman di kampung. Karena itulah aku diterima menjadi seorang pegawai di sebuah perusahaan swasta, dengan gaji yang lumayan, aku beruntung lagi. Sibuk dalam menjalani kehidupan kerja, lama-lama aku jadi tidak memikirkan Fenny lagi, kadang aku jadi ingat padanya. Tapi kenapa aku masih bisa merasakan kegelisahannya ketika aku memandangi korek itu.

Waktu berlalu begitu cepat, keberuntungan selalu menjadi bagianku, aku naik pangkat, lagi dan lagi, kini aku tinggal di sebuah apartment, masih sewa tapi, tidak apa-apa simbok pasti senang melihatku seperti ini, sebentar lagi aku akan balik menemuinya, kalu udah bisa beli apartment. Namun yang masih kubingungkan kenapa, dlam soal mencari wanita aku selalu gagal aku, tidak tahu, tapi aku teringat simbok yang mau menimang cucu.

Pada suatu hari di sore yang cerah, ketika itu aku sedang libur cuti, sudah dua setengah tahun lebih aku bekerja di perusahaan swasta tersebut, dan kini aku merasa bebas. Aku bisa pergi ke café, main billiard dengan beberapa koneksiku. Di dalam ruangan yang remang-remang itu, dengan nyala lampu sekitar

5 watt kulihat ada seorang wanita melintas di ruangan tersebut. Aku jadi teringat sesuatu, teringat seorang wanita yang dulu pernah kutemui. Hatiku bergejolak, mungkinkah itu dia, ataukah hanya mirip saja, tetapi mengapa ia berada di tempat yang gawat seperti ini. mengapa ia memakai pakaian yang hanya aan menmbulkan egairahan pria. Ah sudahlah, pikirku saat itu. Tak mungkin aku menemuinya di tempat seperti ini. aku terus bermain dengan temanku, sampai jam setengah 12 malam, malam itu aku menenggak beberapa mnuman yang katanya sebagai penghangat tubuh, beruntungnya lagi aku di bayari oleh temanku itu. Malam itu dia menggandeng seorang wanita yang ditemuinya di bar, kurasa wanita itu adalah seorang pramuria, kulihat pakaiannya yang serba mini.

“Kamu gak ikutan Fan?” katanya sambil ngekek.

“Ikutan apa? Aku gak mau aneh-aneh ah!”

“Oh iya kau lupa kamu kan orang alim, he..he…, pulang sendiri yah, da dah”

Katanya tertawa kecil sambil melengos pergi.

Memang kehidupan malam seperti itu. Hanya maklum. Aku keluar dari tempat itu sendiri sekitar jam dua belas kurang seperempat. Aku hanya jalan kaki. Aku merasa aman karena aku seorang laiki-laki dan aku tidak bawa uang sepeserpun, hanya korek pemberian Fenny dan sebuah sapu tangan. Aku di balut dengan jaket hitam yang didalamnya hanya ada kaos sport dan celana jeans rombeng.

Di pertigaan kulihat ada dua orang laki laki berlari ke arah sebuah gang dengan tergesa-gesa.

“Ahh…, jangan mendekat!” kudengar teriakan seorang wanita.

Aku langsung berlari ingin tahu apa yang terjadi. Di balik gang itu aku bersembunyi.

“sini manis ayo om itu sudah menunggumu” rayu seorang laki-laki.

“tidak mau, aku sudah capek diperlakukan seperti ini, jangan bawa aku, yang lain saja!”

“Ah, om itu hanya mau kamu yang melayaninya”

“kamu kan yang paling cantik disini, ayo cepat layani dia, nanti kamu akan dapat uang banyak”

“Ah… tidak, jangan sentuh aku”

“plaaaak…!”

Tiba tiba sebuah tamparan mendarat di pipinya.

“Ayo cepat, sudah ditawarin baik-baik malah ngelawan”

“Iya nich, om sudah nunggu kalau tidak dapat kau, kami bisa di bunuh”

“ah, tidaaaaaak…!”

Aku mengintip, kulihat kedua orang tersebut menyekap seorang wanita yang suaranya kukenal, suara itu mengingatkanku pada seseorang. Oh iya, itu seperti suara Fenny, cepat cepat aku mengambil tongkat besi yang entah sejak kapan sudah ada di bawah kakiku, mungkin tongkat ini bekas papan iklan yang rusak. Dengan berlagak hero aku memukul kepala seorang lelaki yang menyergap perempuan itu.

“Arghhh…!” ia berteriak dan terjatuh pingsan.

“laki-laki satunya yang sangar dan berkumis segera berteriak dan menonjok mukaku, tepat di hidung, hidungku berdarah. Tidak terima aku menonjoknya, tepat di pipinya, kulihat pipinya yang kasar itu berubah warna menjadi biru. Aku tersadar bahwa ada seorang laki-laki lagi datang di belakangku, dia membawa pisau. Jantugku serasa mau copot. Aku gemetar dengan keringat dingin di sekujur tubuhku. Pria itu berbadan besar.

“Hey, jangan macam-macam, kamu itu mengganggu saja!” suaranya yang serak menggoyahkanku. Tanpa sadar aku berdoa, “Tuhan tolong aku,” gumamku.

Tiba-tiba lelaki yang tadi aku tonjok terbangun dan memegangi kedua lenganku.

“Maksudmu apa, memukul temanku sampai pingsan, mengganggu saja nanti om marah bagaimana? Hah!”

Ketika pria besar itu mau menusukkan pisaunya itu padaku akupun gemetar.

“Blethaak…!” sebuah benda besar mengenai kepala orang besar itu.

Lalu orang besar itu bangkit dan mengejar si pelempar benda yang mengenai kepalanya.

“Siapa itu! Ayo tunjukkan dirimu!” dia menggerutu lalu pergi mencari orang tersebut.

Kini perhatianku tertuju pada perempuan itu. Orang yang memegangi tanganku itu barang berharganya di tendang oleh perempuan itu hingga ia tersungkur. Lalu ia mengajakku pergi dari tempat yang berbau busuk itu.

Setelah sekian lama aku menunggu akhrinya kutemukan Fenny. Perempuan itu kulihat tidak seperti dulu. Penampakannya sudah kacau balau. Mukanya sudah mulai keriput. Di tempat aman kami berhenti.

Ada apa sich sebenarnya, sampai kamu dalam masalah ini?”

Dia mulai menangis, hanya tersedu sedu. Tidak mengeluarkan kalimat sedikitpun. Mungkin dia shock. Dia memandangku, memang parasnya masih cantik dan manis seperti yang dulu tetapi ia sudah berubah. Yang keluar dari mulutnya hanya isakan tangis yang memilukan hatiku. Lalu kuantar dia ke hotel terdekat. Dengan sisa uangku kubayar tagihan hotel itu dan kusarankan dia untuk tenang dan beristirahat.

Paginya aku datang ke hotel itu untuk menemuinya. Saat kutanyakan ke resepsionis ternyata ia sudah lenyap dari tempat itu saat pagi buta sekitar pukul 4 subuh. Aku disana pada pukul 8 pagi, terlambat.

“Mas mbak yang mas cari sudah check out subuh tadi, ia Cuma mau bilang terima kasih dan meninggalkan secarik kertas.”

“terima kasih mbak!” kataku sambil menerima surat itu, kubaca.

Terima kasih Fan atas semuanya

Aku tidak tahu bagaimana membalasnya

Aku hanya kangen kamu. Aku sudah melihatmu. Aku jadi ingat waktu kita ngobrol di kereta. Itu sangat menyenangkan. Kuharap kita bisa ketemu lagi. Maafkan aku, kamu jadi seperti itu. Tante yang kupercaya dulu malah menjerumuskan aku ke dalam jalan yang sesat, seperti yang kamu lihat kemarin. Aku ini manusia kotor Fan. Jadi jangan tunggu aku, mungkin kita akan bertemu di dimensi lain dimana kita bisa saling berbagi berdua, hanya kau dan aku. Aku sudah tidak layak bagimu. Pertama kali aku melihatmu aku langsung tertarik padamau. Kau tahu mengapa? Aku pun tak tahu, mungkin saat itu kau juga tahu perasaanku.aku memang gelisah akan masa depanku. Kuharap simbokmu di kampung senang melihatmu kembali sebagai orang sukses. Sampai jumpa, selamat tinggal. Fenny Tirani

Aku sesaat terhenyak, ingin mengetahui arti sesungguhnya dari surat itu. Di surat itulah pertama kalinya aku menerima kata selamat tinggal dari Fenny.

Tiba tiba punggungku di tepuk seseorang dari belakang.

“Fan masih ingat aku” serunya

“Hah, kamu Aden kan!”

“Iya masak kau lupa sih, simbokmu sudah nunggu di kampung tuh!”

“Gimana ia sehat saja toh?”

“Gak apa-apa, cuman dia katanya mau ketemu kamu jadi aku nyusul ke sini, kemarin sore baru datang, trus jam 12 malem pas pulang dari jalan-jalan kemarin aku lemparin orang jahat pakai batu, kirain mau ngerampok orang, trus aku lari aja nginep plus sembunyi di hotel ini, takut rek kalau diapa-apain.”

“Oh, jadi itu kamu toh?”

“Apaan?”

“Terima kasih ya Den”

“Terima kasih apaan, aku cuma mau nyusul kamu! Aku disuruh simbokmu.”

“Nggak apa-apa, trims karena udah mau nyusul aku.”

“Huh kamu tuh, ayo pulang mbokmu udah kangen.”

“Ntar dulu aku mau pamit sama boss, mau memperpanjang cuti.”

“cepetan deh, aku tunggu disini.”

Setelah itu aku pulang aku kangen simbok. Aku memeluknya ketika betemu di rumah. Lalu aku pergi kebukit ini merenung sendiri ditemani sebuah korek yang usang dan surat dari Fenny. Sungguh aku tak bisa melupakannya. Walaupun janjiku pada simbok belum terpenuhi, untuk menikah dan punya anak, aku masih senang melihat simbokmu sehat, malah makin gemuk. Yang kuingini saat ini hanyalah bemimpi dan melupakan apa yang berharap waktu terulang kembali, saat aku di kereta bersamanya. Tetapi waktu tak bisa diulang.

“Hoy Fan ayo pulang! Ini temenmu cewek datang cariin kamu,” teriak simbok dari seberang.

Aku bergegas berlari menuju rumah, berharap bintang yang tersenyum padaku mengirimku ke dimensi lain.

NB: maaf kalau ada kealahan kata ataupun Nama. Hal ini biasa terjadi. Cerpen ini merupakan tugas Sastra sekolah saya pada tanggal 28 April 2008. Maaf kalai terlalu panjang, terima kasih. Thanks too: Rio, hayo apaan sich!

My mom too

GBu

Eh oya, kalau mau copy boleh aja, asal mail aku di alvin_cux@yahoo.co.id trims